Oleh Parto Bangun
Jubir GERAK 98
BLACKPOST | Iklim politik tahun 2024 ini nampaknya sangat emosional. Jauh lebih emosional dibandingkan fenomena pilpres 2004, 2009, 2014 dan 2019.
Prabowo Subianto yang merupakan peserta pilpres yang paling abadi. Tidak pernah menyerah atas kekalahannya yang hattrick dalam kompetisi meraih kekuasaan tertinggi di negeri ini. Setelah sebelumnya pada pemilu 2009, menjadi cawapres mendampingi Megawati. Pada pemilu 2014, menjadi capres bersama Hatta Rajasa sebagai cawapresnya. Dan terakhir kembali "nyapres" bersama Sandiaga Uno pada pilpres 2019.
Di penghujung keikutsertaannya kali ke empat ini, dan mungkin akan menjadi yang terakhir. Mengingat usianya yang semakin uzur. Belum lagi soal gugatan ke MK menyangkut batas usia yang mungkin saja akan saklek diberlakukan pada pemilu 5 tahun yang akan datang.
Secara mengejutkan, Prabowo meminang anak sulung presiden yang menjadi kompetitornya pada 2 kali piplres sebelumnya.
Apa gerangan pertimbangan Prabowo dengan pilihan ini? Apakah ini pilihan pamungkasnya, setelah hampir putus asa tidak mendapatkan pasangan yang menjanjikan. Yang bisa bersaing melawan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai saingan baru yang nampaknya jauh lebih berat jika dibandingkan saat bertarung melawan Joko Widodo dan Jusuf Kalla di tahun 2014 serta Joko Widodo dan Ma'ruf Amin di tahun 2019?
Tanpa bermaksud menyepelekan kentestan lain, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang sudah lebih dulu mendeklarasikan sebagai calon presiden dan wakil presiden diusung Partai Nasdem, PKB dan PKS. Didahului dengan drama "baper"-nya SBY, karena AHY tidak jadi dipinang Anies sebagai cawapres. Sehingga Demokrat check out dari koalisi "perlu-bahan" dan memilih bergabung ke koalisi "besar" yang dipimpin Gerindra bersama Golkar dan PAN.
Dengan meminang Gibran Rakabuming Raka, itu artinya....
Seorang Airlangga Hartarto yang seorang pengusaha dan nampak sangat berwibawa dan juga ketua umum partai Golkar. Sebuah partai lawas yang juga besar, warisan orde baru. Bahkan beliau masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang perekonomian Indonesia, pun tidak punya nilai tawar untuk menjadi cawapresnya Prabowo.
Seorang Zulkifli Hasan yang sudah sangat berpengalaman dengan segudang jabatan politik. Mulai dari DPR, MPR, 2 kali menjadi Mentri di 2 jaman rezim. Dan saat ini menjadi ketua umum PAN juga tidak laku dijual untuk menjadi cawapresnya Prabowo.
Seorang Prof. Dr. Yusril Ihza Mehandra S.H., M.Sc dengan segudang titel dan merupakan figur yang intelek, akademisi dan profesor hukum tata negara. Dan pernah menjabat sebagai menteri di tiga era rezim. Dan merupakan ketua umum PBB, juga tidak layak dijajakan untuk menjadi cawapresnya Prabowo.
Seorang AHY, anak mantan presiden yang ganteng dan nuga mantan prajurit TNI serta ketua umum Demokrat warisan sang "pepo", juga tidak menarik konsumen untuk menjadi cawapresnya Prabowo.
Erick Thohir, yang kesohor sebagai ketua umum PSSI dan sekaligus Menteri BUMN serta pengusaha besar di berbagai bidang dan digadang sebagai cawapres andalan PAN, ternyata juga tak layak untuk di-"cawapres"-kan mendampingi Prabowo.
Ridwan Kamil, kader anyar partai Golkar yang punya predikat seorang arsitek hebat di negeri ini. Dan merupakan mantan gubernur terbaik dengan segala macam penghargaan ketika memimpin provinsi terbesar di Indonesia, Jawa Barat. Konon disukai generasi millenial dan gen Z se-antero nusantara karena selalu tampil adaptif terhadap jaman kekinian. Pun seolah belum pantas menjadi RI-2 bersama Prabowo.
Lalu siapa lagi?
Anis Matta dan Fahri Hamzah sebagai ketua dan wakil ketua partai Gelora, pecahan PKS? Said Iqbal ketua partai buruh yang pernah asyik makan daging saat buruh sedang demo panas-panasan dan kelaparan di bawah terik matahari? Ahmad Ridha Sabana, ketua partai gurem "Garuda"? Si loba bacot Rocky Gerung?
Mereka semua sepertinya tak layak untuk disandingkan dengan Prabowo. Seketika nama-nama besar tersebut seperti hanya memiliki kapasitas sebagai "suporter", bahkan belum tentu bisa menjadi "voter getter"
Seolah tokoh-tokoh besar yang sudah malang melintang di dunia politik dengan berbagai macam predikat jabatan publik itu, tidak ada artinya dibandingkan seorang bocil yang baru kemaren sore menjadi kader partai dan baru menjabat sebagai walikota selama 2 tahun. Itupun tertolong karena popularitasnya yang melambung hanya karena anak seorang presiden.
Dan kapasitas para negarawan dengan berbagai title akademis yang mentereng tersebut seolah tidak lebih hebat dibandingkan seorang tukang martabak.
Memang bukan soal profesi yang seorang pengusaha catering atau bakulan makanan. Bukan juga bermaksud menyepelekan seorang penggiat UMKM. Memang sudah terbukti dan menjadi fakta sejarah, bahwa sang ayah yang hanya seorang tukang kayu mebelpun pada akhirnya bisa kok menjadi seorang presiden.
Tapi perlu dicatat. Bahwa progress tersebut adalah proses yang tidak instan. Proses yang sangat meletihkan, menguras tenaga dan keringat serta menguji mental atas tekanan besar dari pihak-pihak lain yang juga petarung besar dalam kompetisi merebut kursi eksekutif.
Satu setengah periode menjadi Walikota Solo. Lalu bertarung di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 untuk naik kelas menjadi Gubernur. Walau kemudian hanya menjabat separuh periode di Ibukota untuk kemudian melesat menjadi calon presiden pada pemilu 2014.
Kesimpulannya, Prabowo yang sudah pernah mencatat rekor 3 kali mendaftar ke KPU, kembali akan memecahkan rekornya sendiri untuk mendaftar ke KPU ke empat kalinya. Baik sebagai cawapres maupun sebagai capres menjadi bukti bahwa Prabowo sangat menyadari betul akseptibilitas dan elektabilitasnya yang sangat rendah di kalangan masyarakat yang pernah mengalami jaman orde baru hingga era reformasi.
Sehingga dia memutuskan untuk menggandeng cawapres yang muda belia, alias bocil istilah anak gen Z hari ini, karena lebih pasti laku dijual ke kalangan pemilih pemula yang buta sejarah, minim asupan literasi atau mungkin juga tidak peduli atas peristiwa kelam masa lalu, yang sampai saat ini peristiwa mengerikan tersebut masih menyisakan tangisan, amarah dan trauma yang tak bisa diobati.
Dua pertanyaan terakhir.
1. Apakah sang pencipta jaket hujan "Tugas Negara Bos" yang mungkin masih labil itu akan mampu mengemban "Tugas Negara"?
2. Apakah merek jaket hujan tersebut adalah gagasan visioner yang dibuat dengan rencana yang strategic?
Yang jelas "menculik" Gibran dari PDIP sebagai cawapres adalah pilihan panik menghadapi Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai calon paling kuat, tangguh dan unggul.
Ini "Tugas Negara Bos", berat!. Biar Ganjar Mahfud aja. Mengurus negara tidak semudah membuat mantel hujan.
(Red/BP)
0 Comments